Ritual-ritual Budaya
Batak
1. Ritual
Hahomion Horja Bius
Huta atau kampung di daerah komunitas
orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk
oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus
berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur
kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau
persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta
disebut Horja.
Perserikatan
horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Dalam
pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion.Dalam pagelaran pesta
Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion. Ritual Hahomion adalah upacara yang
dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada
roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk
memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek
moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam
kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa
memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai
bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang
mengiringi kehidupan.
Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar
roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon
kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran,
dan ketentraman hidup warga. Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan,
ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:
1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing
putih) yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian
kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki
bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti
cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng,
merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare,
disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan
pasu/piring besar dari keramik.
2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih
Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan
berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap,
paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam,
jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica,
buah pala dan jintan.Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare
disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau
piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk
mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa;
kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha
pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya
dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak
khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila
ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4. Ayam Jantan (manuk faru basi
bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong
dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang,
sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung
beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh
ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.
6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung
beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa
berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur,
bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga
pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7. Itak Gurgur atau Pohul-pohul. Bahan
kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang
dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari
danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan
bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah
bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan
secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi
bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9. Anggir pangurason yakni air yang
dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan
lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
10.Assimun pangalambohi adalah bahan
yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11.Tanduk horbo paung yang terbuat dari
pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan
sebagai penyegar perasaan.
12.Aek Naso ke mida matani ari (air
kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda
dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan
bunga raya merah.
14.Perlengkapan makan sirih yaitu daun
sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15.Perlengkapan pakaian untuk semua
peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan
ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki
ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju.
Bagi
orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial.
Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu
tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru
(salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata
Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala
berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud
pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16.Perlengkapan lainnya adalah “Dupa”
tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan
kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang
kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang
dilaksanakan.
17.Pergondangan yaitu menyiapkan satu
gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah
kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan
panggor dan 1 buah sarune.
Upacara adat horjabius ini dilakukan
untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang
terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka
miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah Batak.
2. Ritual
Mandi Pangir
Mereka
membersihkan tubuh dengan ramuan-ramuan khusus, membasuh rambut (keramas)
sampai halus. Di beberapa tempat yang beruntung punya sungai bagus, dengan
ramuan itu mereka bermaksud “menghanyutkan dosa-dosa” ke arah hilir, dan kini
mereka telah siap untuk memasuki satu bulan suci dalam Islam, yaitu Ramadhan.
Setiap menjelang bulan Ramadhan yang berarti kegiatan puasa akan tiba,
kelompok-kelompok masyarakat yang beragama Islam di Sumatera melakukan tradisi
persiapan lahir dan batin. Biasanya, dalam tradisi ini, terdapat beberapa
ritual yang dilaksanakan secara berbeda—meskipun ada kaitannya--oleh
etnis-etnis yang hidup di pulau ini.
Ritual
tersebut antara lain, ziarah ke makam, mandi keramas, dan punggahan (naik ke
bulan yang suci dengan kegiatan kenduri). Dari tiga tradisi tersebut, saya akan
mengungkapkan latar budaya mandi keramas, khususnya yang berlangsung pada orang
Jawa di Sumatera Utara, yang berbeda dengan tradisi asli di Jawa. Perbedaan ini
memperlihatkan sifat adaptif budaya Jawa terhadap tradisi setempat tanpa
menghilangkan ciri khas mereka sebagai orang Jawa yang sudah berdomisili di
Sumatera sejak akhir abad 19.
Pada
beberapa kelompok etnik di Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang
berbeda untuk menyebut ritual mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan
Mandailing, ritual mandi ini disebut dengan istilah ”marpangir” (selanjutnya
kita akan mengunakan istilah ini). Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil,
kegiatan yang sama disebut dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau
menyebutnya dengan ”balimau kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi
yang sama, yaitu suatu ritual pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari
menjelang puasa.
Uniknya,
pada etnis Karo yang bukan Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga
ditemukan. Mereka menyebutnya dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna
pembersihan diri. Berbeda dari kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang,
erpangir bagi etnik Karo merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan
penyambutan Ramadhan. Jika marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing
merupakan ritual yang dilakukan secara individual, tetapi pada etnis Karo
ritual ini dilakukan secara kolektif dan ada pemimpin ritualnya. Bagi etnis
Karo, selain bertujuan membersihkan diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual
ini dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit, minta rezeki,
penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan untuk memanjatkan rasa syukur
terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Etnik
Jawa di Sumatera Utara pun tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut
istilah marpangir, dan mereka mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh
host population (etnik setempat) seperti Mandailing, Melayu dan Karo. Padahal
di Jawa, daerah asal mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk
kegiatan ini, yaitu ”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti
“mandi”. Tetapi orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah
padusan lagi.
Kata
dasar ”marpangir” dan ”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan
yang digunakan untuk mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar
satu tempat dengan tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai
wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta
batang kapellon yang mengandung unsur wewangian. Dengan demikian, balimau,
balimau kasai, dan marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang
masuknya bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha
Esa.
Ritual
yang berkaitan dengan penyambutan Ramadhan ini dijalankan secara lengkap oleh
kelompok orang Jawa di Sumatera Utara. Selain marpangir, orang Jawa menjalankan
ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif
dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam
keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual
yang biasanya dijalankan secara berurutan.
Dalam
tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi
tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan
tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam. Masih ada jenis slametan lain di
luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan,
Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh
orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis
kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu
yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan
slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
Ziarah,
marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang
meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan
dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur. Meskipun
demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan
kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu
disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan
dan priyayi). Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk
menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan
alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam,
juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan
alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang.
Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran
Islam.
Dalam
antropologi (Koentjaraningrat, 1985:243), upacara-upacara ritual, baik secara
kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara,
saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Benda
dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih
karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan
kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan
penyucian diri. Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama,
kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur
seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk
purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk
doa yang dipanjatkan.
Jeruk
purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan
dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan
keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya.
Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan
logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat
menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.
Berkaitan
dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan
dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi
untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama
menjalankan ibadah puasa. Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul
dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat
menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka. Hal ini mencerminkan
nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan
bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini
berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.
Secara
harfiah, marpangir merupakan tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang
mempunyai makna pembersihan diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun
dilaksanakan berkaitan dengan momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam
ajaran para nabi. Ritual-ritual ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan
Hindu, tepatnya tradisi yang dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai
Gangga, India. Akan tetapi dalam kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara,
serta etnis lain yang menjalankannya, tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai
tradisi yang berasal dari agama Hindu. Ini merupakan tradisi Islam yang
terdapat pada beberapa etnik lain, yang membuat mereka mendapatkan kepuasan
batin dan kenyamanan saat akan memasuki serta menjalankan ibadah di bulan
Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan mudah dihilangkan.