ilmu sosial dasar


Ritual-ritual Budaya Batak

1.      Ritual Hahomion Horja Bius
       Huta atau kampung di daerah komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta disebut Horja.
       Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion.Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion. Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan.
       Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:
1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan.Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4. Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.
6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7. Itak Gurgur atau Pohul-pohul. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9. Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
10.Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11.Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
12.Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.
14.Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15.Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju.
Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16.Perlengkapan lainnya adalah “Dupa” tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.
17.Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.

       Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah Batak.

2.      Ritual Mandi Pangir
       Mereka membersihkan tubuh dengan ramuan-ramuan khusus, membasuh rambut (keramas) sampai halus. Di beberapa tempat yang beruntung punya sungai bagus, dengan ramuan itu mereka bermaksud “menghanyutkan dosa-dosa” ke arah hilir, dan kini mereka telah siap untuk memasuki satu bulan suci dalam Islam, yaitu Ramadhan. Setiap menjelang bulan Ramadhan yang berarti kegiatan puasa akan tiba, kelompok-kelompok masyarakat yang beragama Islam di Sumatera melakukan tradisi persiapan lahir dan batin. Biasanya, dalam tradisi ini, terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan secara berbeda—meskipun ada kaitannya--oleh etnis-etnis yang hidup di pulau ini.
       Ritual tersebut antara lain, ziarah ke makam, mandi keramas, dan punggahan (naik ke bulan yang suci dengan kegiatan kenduri). Dari tiga tradisi tersebut, saya akan mengungkapkan latar budaya mandi keramas, khususnya yang berlangsung pada orang Jawa di Sumatera Utara, yang berbeda dengan tradisi asli di Jawa. Perbedaan ini memperlihatkan sifat adaptif budaya Jawa terhadap tradisi setempat tanpa menghilangkan ciri khas mereka sebagai orang Jawa yang sudah berdomisili di Sumatera sejak akhir abad 19.
       Pada beberapa kelompok etnik di Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut ritual mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan Mandailing, ritual mandi ini disebut dengan istilah ”marpangir” (selanjutnya kita akan mengunakan istilah ini). Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil, kegiatan yang sama disebut dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau menyebutnya dengan ”balimau kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi yang sama, yaitu suatu ritual pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari menjelang puasa.
       Uniknya, pada etnis Karo yang bukan Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga ditemukan. Mereka menyebutnya dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna pembersihan diri. Berbeda dari kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang, erpangir bagi etnik Karo merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan penyambutan Ramadhan. Jika marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing merupakan ritual yang dilakukan secara individual, tetapi pada etnis Karo ritual ini dilakukan secara kolektif dan ada pemimpin ritualnya. Bagi etnis Karo, selain bertujuan membersihkan diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual ini dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit, minta rezeki, penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa.
       Etnik Jawa di Sumatera Utara pun tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut istilah marpangir, dan mereka mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh host population (etnik setempat) seperti Mandailing, Melayu dan Karo. Padahal di Jawa, daerah asal mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk kegiatan ini, yaitu ”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti “mandi”. Tetapi orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah padusan lagi.
       Kata dasar ”marpangir” dan ”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan yang digunakan untuk mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar satu tempat dengan tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapellon yang mengandung unsur wewangian. Dengan demikian, balimau, balimau kasai, dan marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang masuknya bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha Esa.
       Ritual yang berkaitan dengan penyambutan Ramadhan ini dijalankan secara lengkap oleh kelompok orang Jawa di Sumatera Utara. Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya dijalankan secara berurutan.
       Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam. Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
       Ziarah, marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan dan priyayi). Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam, juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran Islam.
       Dalam antropologi (Koentjaraningrat, 1985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Benda dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri. Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.
       Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya. Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.  
       Berkaitan dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa. Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.
       Secara harfiah, marpangir merupakan tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang mempunyai makna pembersihan diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun dilaksanakan berkaitan dengan momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam ajaran para nabi. Ritual-ritual ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan Hindu, tepatnya tradisi yang dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai Gangga, India. Akan tetapi dalam kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara, serta etnis lain yang menjalankannya, tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai tradisi yang berasal dari agama Hindu. Ini merupakan tradisi Islam yang terdapat pada beberapa etnik lain, yang membuat mereka mendapatkan kepuasan batin dan kenyamanan saat akan memasuki serta menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan mudah dihilangkan.


Ritual-ritual Budaya Batak


1.    Ritual Hahomion Horja Bius
      Huta atau kampung di daerah komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta disebut Horja.
Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion.Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion. Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan.
    Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:
1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan.Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4. Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.
6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7. Itak Gurgur atau Pohul-pohul. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9. Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
10.Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11.Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
12.Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.
14.Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15.Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju.
Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16.Perlengkapan lainnya adalah “Dupa” tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.
17.Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.
Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah Batak.


2.    Ritual Mandi Pangir
    Mereka membersihkan tubuh dengan ramuan-ramuan khusus, membasuh rambut (keramas) sampai halus. Di beberapa tempat yang beruntung punya sungai bagus, dengan ramuan itu mereka bermaksud “menghanyutkan dosa-dosa” ke arah hilir, dan kini mereka telah siap untuk memasuki satu bulan suci dalam Islam, yaitu Ramadhan. Setiap menjelang bulan Ramadhan yang berarti kegiatan puasa akan tiba, kelompok-kelompok masyarakat yang beragama Islam di Sumatera melakukan tradisi persiapan lahir dan batin. Biasanya, dalam tradisi ini, terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan secara berbeda—meskipun ada kaitannya--oleh etnis-etnis yang hidup di pulau ini.
    Ritual tersebut antara lain, ziarah ke makam, mandi keramas, dan punggahan (naik ke bulan yang suci dengan kegiatan kenduri). Dari tiga tradisi tersebut, saya akan mengungkapkan latar budaya mandi keramas, khususnya yang berlangsung pada orang Jawa di Sumatera Utara, yang berbeda dengan tradisi asli di Jawa. Perbedaan ini memperlihatkan sifat adaptif budaya Jawa terhadap tradisi setempat tanpa menghilangkan ciri khas mereka sebagai orang Jawa yang sudah berdomisili di Sumatera sejak akhir abad 19.
    Pada beberapa kelompok etnik di Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut ritual mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan Mandailing, ritual mandi ini disebut dengan istilah ”marpangir” (selanjutnya kita akan mengunakan istilah ini). Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil, kegiatan yang sama disebut dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau menyebutnya dengan ”balimau kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi yang sama, yaitu suatu ritual pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari menjelang puasa.
    Uniknya, pada etnis Karo yang bukan Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga ditemukan. Mereka menyebutnya dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna pembersihan diri. Berbeda dari kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang, erpangir bagi etnik Karo merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan penyambutan Ramadhan. Jika marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing merupakan ritual yang dilakukan secara individual, tetapi pada etnis Karo ritual ini dilakukan secara kolektif dan ada pemimpin ritualnya. Bagi etnis Karo, selain bertujuan membersihkan diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual ini dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit, minta rezeki, penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa.
    Etnik Jawa di Sumatera Utara pun tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut istilah marpangir, dan mereka mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh host population (etnik setempat) seperti Mandailing, Melayu dan Karo. Padahal di Jawa, daerah asal mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk kegiatan ini, yaitu ”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti “mandi”. Tetapi orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah padusan lagi.
    Kata dasar ”marpangir” dan ”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan yang digunakan untuk mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar satu tempat dengan tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapellon yang mengandung unsur wewangian. Dengan demikian, balimau, balimau kasai, dan marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang masuknya bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha Esa.
    Ritual yang berkaitan dengan penyambutan Ramadhan ini dijalankan secara lengkap oleh kelompok orang Jawa di Sumatera Utara. Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya dijalankan secara berurutan.
    Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam. Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
    Ziarah, marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan dan priyayi). Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam, juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran Islam.
    Dalam antropologi (Koentjaraningrat, 1985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Benda dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri. Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.
    Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya. Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.  
    Berkaitan dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa. Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.
    Secara harfiah, marpangir merupakan tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang mempunyai makna pembersihan diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun dilaksanakan berkaitan dengan momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam ajaran para nabi. Ritual-ritual ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan Hindu, tepatnya tradisi yang dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai Gangga, India. Akan tetapi dalam kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara, serta etnis lain yang menjalankannya, tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai tradisi yang berasal dari agama Hindu. Ini merupakan tradisi Islam yang terdapat pada beberapa etnik lain, yang membuat mereka mendapatkan kepuasan batin dan kenyamanan saat akan memasuki serta menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan mudah dihilangkan.


About

Universitas Gunadarma


Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Ihsan AREA

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger